Cerita Fiksi
Semoga bermanfaat untuk teman - teman, selain itu kita bisa ambil pelajaran dari secuplik cerita fiksi dibawah ini.
Hijrahku
Oleh: Miya Ulandari
Nafasku tengah terengah –
engah, aku sembunyi di balik pohon besar mengendap seperti tikus yang takut
ketahuan si kucing. Setelah warga pergi aku bergegas pulang dengan rasa puas. Kegiatan
mencopet adalah rutinitas yang aku jalani, meski keluargaku kaya raya. Justru
karena itu yang membuatku lantas menjadi brutal. Aku kurang pendidikan agama
dan kasih sayang orang tua. Mereka hanya memberiku pendidikan formal itu pun
cukup bagi mereka. Kesibukan di dunia membuat mereka lupa dengan aku yang
selalu menunggu di sudut jendela saat hujan sedikit reda ketika aku masih kecil.
Aku tidak pernah merasa bersalah dengan warga, karena menurutku itulah caraku
mendapat perhatian. Di lubuk hati yang paling dalam seorang lelaki 17 tahun
bulan agustus ke depan seperti aku masih berharap mereka berubah dan
mempedulikan aku. Sepulang dari nyopet aku pergi main sama teman, balap motor
liar. Hari itu benar – benar sial aku dan 2 orang temanku lainnya ditangkap
polisi keamanan. Hal gawatnya lagi mereka menelpon orang tuaku, saat itu aku
tidak bisa berkutik hanya bisa mendengarkan omelan mamah sedangkan papa acuh
tak acuh hanya saja dia sempat menatapku tajam penuh kemarahan. Aku menipuk
bantal di depanku, dengan marah. Bukankah
itu juga salah mereka juga? Batinku setelah mereka berdua pergi dari kamar.
Hanya malam yang paling
setia menemaniku, hanya mereka yang paling mengerti. Bintang dan langit hitam. Kehidupan
yang tidak aku mengerti dari kecil, Apakah
Tuhan adil? Aku memejamkan mataku dan memikirkan rencana besok.
“Ah…sial pake dikunci
lagi!”, dengusku sebal.
“Bi….bibi ???”, kemanakah
pembantu itu. Apa bi Ijah memang sengaja pura – pura tidak mendengarkanku. Atau
mungkin jam segini memang sedang sibuk di dapur.
Dengan berbagi cara
pastinya aku tidak mau seharian terkurung di dalam kamar ini. Aku keluar dari
balik jendela.Dan harus melompat sekitar 2 meter kebawah.
Aku pergi ke pasar
melanjutkan aksi ku di tempat berbeda.
Setiba di pasar aku
bertemu seseorang. Fikri teman lama ku kebetulan hari itu aku diajak ke warkop
sebentar.
“Kamu sekarang kuliah dimana?”, aku yang
sedang meneguk kopi panas pun tersentak mendengar pertanyaan itu pasalnya aku
sudah di DO seminggu lalu dan hal ini ku rahasiakan sama papa dan mama,
“uhuk…uhukkk…kk”.
“Aku….uu…u kuliah di
e.e..UGM”, jawabku sambil meringis kebingungan mencari alasan.
“Wah berarti seharusnya
kita sering bertemu dong”, timpal balik dengan ketawa.
Mati
aku senjata makan tuan ini ceritanya.
“Enggak juga sih soalnya
aku gak banyak masuk di jam – jam tertentu”.
“ouch…. kamu masih
tinggal di rumah itu kan !”, aku hanya mengangguk senyum tipis.
Aku sudah mulai bosan
dengan pembicaraan ini lebih baik aku pergi sebelum dia tau yang sebenarnya.
Dulu dia mengenalku baik sekarang aku tidak mau ketahuan kalo aku sebenarnya
seorang pencopet.
Ketika aku hendak berdiri
tiba – tiba , “Kamu beruntung Di, bisa hidup mewah dan serba ada. Aku? ibuku
sekarang sakit – sakitan, sedangkan ayahku entah pergi kemana bersama istri
barunya, kamu bener – bener beruntung”, dia tersenyum.
Dengan keberuntungan saja
apa kita bisa bahagia dia hanya tau aku dari sebelah mata pisau, tapi
setidaknya aku merasa lebih baik dari dia secara finansial dan keutuhan
keluarga.
Dan senyumannya itu
bukankah itu sebenarnya luka yang ditutupinya?
Aku menepuk pundaknya,
dengan turut prihatin.
Aku mulai tertarik
sesuatu, “Apa selama ini orang tuamu selalu menyayangimu?”, Sejurus dia terdiam
kemudian dengan logatnya dia tertawa.
“Orang tua mana yang
tidak sayang pada anaknya sih Di, kamu ini ayak
ayak wae”, dia malah ketawa terbahak – bahak.
“Orang tuaku”, Upz
keceplosan ini mulut.
“Kenapa?, karena mereka
sibuk kerja”.
Aku hanya mengangguk,
“Sesibuk apapun mereka sebenarnya mereka sayang sama kamu lo Di”.
Terimakasih untuk
percakapan hari ini tapi tetap saja Tuhan tidak adil. Karena selama ini aku
tidak bahagia, rutinitas mencopet aku urungkan begitu saja entah mengapa
intinya aku lagi badmood.
Hari semakin petang tapi
tidak ada tanda – tanda mereka mencariku, yah pasti mereka sedang sibuk dengan
kantor dan bisnis mereka. Mereka lebih menyayangkan harta dan capek – capek
mengejarnya padahal aku tidak hanya butuh itu. Tiba – tiba telepon di kantongku
berdering, “Nomor baru?”, gumanku penuh tanya.
“Den…ini bi Ijah.Segera
ke runah sakit ya den orang tua aden kritis”.
Deg, hatiku terasa
ditikam. Peluhku menetes, baru kali ini aku menangis terakhir kali umur 10
tahun, karena sangking kerasnya hati ini.
Dengan cepat kilat aku
melejit ke rumah sakit dengan naik angkot yang kebetulan saja lewat. Aku
berharap masih ada waktu mereka untukku. Jangan buat aku kecewa lagi, dan aku
berharap Tuhan masih mau adil.
“Mah…?”. Kumohon beri aku
kesempatan Ya Allah.
Yusuf sayang, maafin
mamah sama papa yah. Karena gak sempat nemenin kamu ketika kamu membutuhkan
kita. Mamah udah sadar sekarang. Mamah mohon kamu jadi anak yang baik, hari ini
kami pergi ke pesantren temannya papa. Kami berdua ingin kamu belajar disana,
kami tau selama ini kamu jauh karena kelalaian kami mendidik ajaran agama. Mama
dan papa sayang sama kamu, maafin kami ya sayang.
Surat terakhir wasiat
mama dan papa, aku menangis sejadi – jadinya. Kini mereka telah pergi, lalu
dengan siapa lagi aku berharap kasih sayang. Namun kehidupan tetap berjalan,
aku pun juga harus tetap bertahan dengan hati yang lungkrah. Seusai dari
pemakaman aku sengaja jalan – jalan di
perkampungan kumuh dekat sungai yang baunya luar biasa, aku bisa pingsan jika
seharian disini. Ternyata banyak orang yang jauh lebih sulit kondisinya
ketimbang aku. Dimana mataku selama ini, kenapa aku tidak melihatnya?
Sebulan kemudian aku
pergi ke pondok pesantren yang dimaksud almarhum orang tua.
Banyak keyakinan yang
tidak ku mengerti. Bahkan aku tidak tahan dengan orang – orang disana. Bukan
karena mereka berbuat jahat tapi karena mereka terlalu terang sedangkan aku terlalu
gelap, tempatku bukan disini. Satu minggu kemudian aku menemui syekh teman
almarhum papa. Aku memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa almarhum ingin
sekali aku masuk kesini?”, dia hanya tersenyum membuatku tambah heran semua
orang disini aneh.
“Pergilah ke danau dekat
pesantren ini temukan jawabannya disana”, menurutku ini ide yang konyol. Kenapa
harus ke danau, kenapa tidak ke pasar saja?.
Pagi ini sebenarnya ada
kegiatan tadarus quran sehabis sholat duha tapi hatiku mengekang seakan aku
belum siap untuk semua ini. Aku masih ragu kenapa Tuhan membuatku seperti ini?
Seseorang menghampiriku,
ku dengar namanya gema baru sebulan di ponpes ini.
“Anak baru ya?”, sambil
duduk disampingku yang terbuat dari kayu mahoni di depannya ada pagar putih
yang menghiasi taman.
Aku hanya mengedipkan
mata, “Kenalin gema, kamu siapa?”, sambil menyodorkan tangannya. Wajahnya teduh
dan pembawaannya tenang.
“Adi Hidayat”, itulah
nama pemberian orang tua ku.
“Afwan kalo boleh tau apa alasannya kamu masuk sini?”, aku sedikit
kebingungan dengan maksudnya.
“Ini semua keinginan
almarhum orang tua ku”.
“Tidak usah malu aku
sudah tau semuanya tentang dirimu”, aku tertegun mendengarnya.
“Dulunya aku seorang
pembunuh dan itu jauh lebih brutal dari yang kamu lakukan aku pernah dipenjara
dan dibenci semua orang.Tapi satu bulan semenjak aku berada disini semuanya
berubah. Hidayah datang padaku, bertaubatlah tidak ada kata terlambat”, sambil
menepuk pundakku.
“Apa yang membuatmu
berubah?”
“Karena aku sadar yang
lebih dekat dengan kita adalah kematian, kita tidak tau sampai kapan kita boleh
belajar di dunia ini. Kawan, semua yang kita perbuat akan dipertanggungjawabkan
meski itu hanya sebiji zarrah”.Mendengar kata – katanya hatiku seketika meleleh
seperti es kepanasan.
Aku penasaran dengan
omongan syekh kemarin, lalu aku berangkat bersama dul yang nasibnya sama
seperti aku hanya saja berbeda dia masih punya kedua orang tua yang masih
diharapkannya.
Sesampai disana, ku lihat
senja yang menghiasi bagian barat danau itu jadi tampak indah dan pertama
kalinya aku melihat perpaduan alam yang romantic,
hatiku seketika damai dan nyaman tidak lagi gusar tapi ada hal lain yang lebih
menarik. Bayangan hitam yang terpotret di air. Inikah aku? Ada sisi lain dari
diriku. Dan akupun masih ada harapan untuk berubah. Tiba – tiba seseorang
lelaki menepuk pundak kami.
“Aku tau kalian pasti
disuruh syehk datang kesini bukan!”, kami hanya mengangguk heran.
“Kenapa anda bisa tau?”,
tanyaku.
“Nanti aku ceritakan mari
duduk”, kami bersila di atas ukiran kayu nampaknya memang sengaja disediakan
untuk orang – orang seperti kami.
”Jadi sebelum ayah dan
ibumu meninggal dia sempat nitip pesan kepada kami, mereka sempat mengaku
bersalah karena telah membiarkan kamu. Mereka ingin kamu bisa menjadi anak yang
bisa menyelamatkan mereka berdua”.
Bulir bening itu menetes
seketika, aku merasa mereka telah kembali menjadi bintang – bintang yang abadi.
Speak and speak berlalu
hingga dua jam lebih, apa yang terjadi?
Aku sadar semua ini bukan
salah papa ataupun mama. Apa yang dilakukan mereka tetap yang terbaik kalo
bukan karena mereka pastinya aku tidak akan disini.Semenjak saat itu aku
berubah dan menjadi pemuda yang taat agama. Agar kelak aku bisa menyelamatkan
mereka, dan bersama – sama masuk ke Surga-Nya yang lebih menyenangkan dari
rutinitas mencopet. Allahu ya Robbi aku bertaubat.
Disini aku memulai
kehidupan yang baru dan semua bukan tentang kesendirian lagi karena banyak
orang yang peduli dengan ukhuwah dan kasih sayang saudara seagama,
Yah aku merasakan bukan
hanya kasih sayang orang tua tapi semua aspek aku dapatkan. Kekuatan mental dan
spiritual aku dapatkan dari sini.
Dulunya aku berpikir
Allah tak adil tapi ternyata asumsiku tentang semua itu salah, justru dengan
Allah memberi kita cobaan itulah perhatian Allah, karena Allah masih peduli
dengan kita.
Masih menegur dengan alur
yang mungkin sulit kita mengerti. Menuntut agama adalah bagian terpenting untuk
menyiapkan diri menyambut alam barzah dan penentuan akhir nanti.
Selamatkan aku dan orang – orang yang aku
sayangi ya Allah.
Tentang penulis
Berpendidikan di SMK Negeri 1 Puhpelem. Mencintai dunia literasi dan berkeinginan menjadi seorang Penulis dan Motivator.