Rabu, 20 Juni 2018

LIKA - LIKU KEHIDUPAN


Cerita Fiksi


Semoga bermanfaat untuk teman - teman, selain itu kita bisa ambil pelajaran dari secuplik cerita fiksi dibawah ini.







 Hijrahku

Oleh: Miya Ulandari



Nafasku tengah terengah – engah, aku sembunyi di balik pohon besar mengendap seperti tikus yang takut ketahuan si kucing. Setelah warga pergi aku bergegas pulang dengan rasa puas. Kegiatan mencopet adalah rutinitas yang aku jalani, meski keluargaku kaya raya. Justru karena itu yang membuatku lantas menjadi brutal. Aku kurang pendidikan agama dan kasih sayang orang tua. Mereka hanya memberiku pendidikan formal itu pun cukup bagi mereka. Kesibukan di dunia membuat mereka lupa dengan aku yang selalu menunggu di sudut jendela saat hujan sedikit reda ketika aku masih kecil. Aku tidak pernah merasa bersalah dengan warga, karena menurutku itulah caraku mendapat perhatian. Di lubuk hati yang paling dalam seorang lelaki 17 tahun bulan agustus ke depan seperti aku masih berharap mereka berubah dan mempedulikan aku. Sepulang dari nyopet aku pergi main sama teman, balap motor liar. Hari itu benar – benar sial aku dan 2 orang temanku lainnya ditangkap polisi keamanan. Hal gawatnya lagi mereka menelpon orang tuaku, saat itu aku tidak bisa berkutik hanya bisa mendengarkan omelan mamah sedangkan papa acuh tak acuh hanya saja dia sempat menatapku tajam penuh kemarahan. Aku menipuk bantal di depanku, dengan marah. Bukankah itu juga salah mereka juga? Batinku setelah mereka berdua pergi dari kamar.

Hanya malam yang paling setia menemaniku, hanya mereka yang paling mengerti. Bintang dan langit hitam. Kehidupan yang tidak aku mengerti dari kecil, Apakah Tuhan adil? Aku memejamkan mataku dan memikirkan rencana besok.



“Ah…sial pake dikunci lagi!”, dengusku sebal.

“Bi….bibi ???”, kemanakah pembantu itu. Apa bi Ijah memang sengaja pura – pura tidak mendengarkanku. Atau mungkin jam segini memang sedang sibuk di dapur.

Dengan berbagi cara pastinya aku tidak mau seharian terkurung di dalam kamar ini. Aku keluar dari balik jendela.Dan harus melompat sekitar 2 meter kebawah.

Aku pergi ke pasar melanjutkan aksi ku di tempat berbeda.



Setiba di pasar aku bertemu seseorang. Fikri teman lama ku kebetulan hari itu aku diajak ke warkop sebentar.

 “Kamu sekarang kuliah dimana?”, aku yang sedang meneguk kopi panas pun tersentak mendengar pertanyaan itu pasalnya aku sudah di DO seminggu lalu dan hal ini ku rahasiakan sama papa dan mama, “uhuk…uhukkk…kk”.

“Aku….uu…u kuliah di e.e..UGM”, jawabku sambil meringis kebingungan mencari alasan.

“Wah berarti seharusnya kita sering bertemu dong”, timpal balik dengan ketawa.

Mati aku senjata makan tuan ini ceritanya.

“Enggak juga sih soalnya aku gak banyak masuk di jam – jam tertentu”.

“ouch…. kamu masih tinggal di rumah itu kan !”, aku hanya mengangguk senyum tipis.

Aku sudah mulai bosan dengan pembicaraan ini lebih baik aku pergi sebelum dia tau yang sebenarnya. Dulu dia mengenalku baik sekarang aku tidak mau ketahuan kalo aku sebenarnya seorang pencopet.

Ketika aku hendak berdiri tiba – tiba , “Kamu beruntung Di, bisa hidup mewah dan serba ada. Aku? ibuku sekarang sakit – sakitan, sedangkan ayahku entah pergi kemana bersama istri barunya, kamu bener – bener beruntung”, dia tersenyum.

Dengan keberuntungan saja apa kita bisa bahagia dia hanya tau aku dari sebelah mata pisau, tapi setidaknya aku merasa lebih baik dari dia secara finansial dan keutuhan keluarga.

Dan senyumannya itu bukankah itu sebenarnya luka yang ditutupinya?

Aku menepuk pundaknya, dengan turut prihatin.

Aku mulai tertarik sesuatu, “Apa selama ini orang tuamu selalu menyayangimu?”, Sejurus dia terdiam kemudian dengan logatnya dia tertawa.

“Orang tua mana yang tidak sayang pada anaknya sih Di, kamu ini ayak ayak wae”, dia malah ketawa terbahak – bahak.

“Orang tuaku”, Upz keceplosan ini mulut.

“Kenapa?, karena mereka sibuk kerja”.

Aku hanya mengangguk, “Sesibuk apapun mereka sebenarnya mereka sayang sama kamu lo Di”.

Terimakasih untuk percakapan hari ini tapi tetap saja Tuhan tidak adil. Karena selama ini aku tidak bahagia, rutinitas mencopet aku urungkan begitu saja entah mengapa intinya aku lagi badmood.

Hari semakin petang tapi tidak ada tanda – tanda mereka mencariku, yah pasti mereka sedang sibuk dengan kantor dan bisnis mereka. Mereka lebih menyayangkan harta dan capek – capek mengejarnya padahal aku tidak hanya butuh itu. Tiba – tiba telepon di kantongku berdering, “Nomor baru?”, gumanku penuh tanya.

“Den…ini bi Ijah.Segera ke runah sakit ya den orang tua aden kritis”.

Deg, hatiku terasa ditikam. Peluhku menetes, baru kali ini aku menangis terakhir kali umur 10 tahun, karena sangking kerasnya hati ini.

Dengan cepat kilat aku melejit ke rumah sakit dengan naik angkot yang kebetulan saja lewat. Aku berharap masih ada waktu mereka untukku. Jangan buat aku kecewa lagi, dan aku berharap Tuhan masih mau adil.

“Mah…?”. Kumohon beri aku kesempatan Ya Allah.

Yusuf sayang, maafin mamah sama papa yah. Karena gak sempat nemenin kamu ketika kamu membutuhkan kita. Mamah udah sadar sekarang. Mamah mohon kamu jadi anak yang baik, hari ini kami pergi ke pesantren temannya papa. Kami berdua ingin kamu belajar disana, kami tau selama ini kamu jauh karena kelalaian kami mendidik ajaran agama. Mama dan papa sayang sama kamu, maafin kami ya sayang.

Surat terakhir wasiat mama dan papa, aku menangis sejadi – jadinya. Kini mereka telah pergi, lalu dengan siapa lagi aku berharap kasih sayang. Namun kehidupan tetap berjalan, aku pun juga harus tetap bertahan dengan hati yang lungkrah. Seusai dari pemakaman aku sengaja  jalan – jalan di perkampungan kumuh dekat sungai yang baunya luar biasa, aku bisa pingsan jika seharian disini. Ternyata banyak orang yang jauh lebih sulit kondisinya ketimbang aku. Dimana mataku selama ini, kenapa aku tidak melihatnya?



Sebulan kemudian aku pergi ke pondok pesantren yang dimaksud almarhum orang tua.

Banyak keyakinan yang tidak ku mengerti. Bahkan aku tidak tahan dengan orang – orang disana. Bukan karena mereka berbuat jahat tapi karena mereka terlalu terang sedangkan aku terlalu gelap, tempatku bukan disini. Satu minggu kemudian aku menemui syekh teman almarhum papa. Aku memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa almarhum ingin sekali aku masuk kesini?”, dia hanya tersenyum membuatku tambah heran semua orang disini aneh.

“Pergilah ke danau dekat pesantren ini temukan jawabannya disana”, menurutku ini ide yang konyol. Kenapa harus ke danau, kenapa tidak ke pasar saja?.

Pagi ini sebenarnya ada kegiatan tadarus quran sehabis sholat duha tapi hatiku mengekang seakan aku belum siap untuk semua ini. Aku masih ragu kenapa Tuhan membuatku seperti ini?

Seseorang menghampiriku, ku dengar namanya gema baru sebulan di ponpes ini.

“Anak baru ya?”, sambil duduk disampingku yang terbuat dari kayu mahoni di depannya ada pagar putih yang menghiasi taman.

Aku hanya mengedipkan mata, “Kenalin gema, kamu siapa?”, sambil menyodorkan tangannya. Wajahnya teduh dan pembawaannya tenang.

“Adi Hidayat”, itulah nama pemberian orang tua ku.

Afwan kalo boleh tau apa alasannya kamu masuk sini?”, aku sedikit kebingungan dengan maksudnya.

“Ini semua keinginan almarhum orang tua ku”.

“Tidak usah malu aku sudah tau semuanya tentang dirimu”, aku tertegun mendengarnya.

“Dulunya aku seorang pembunuh dan itu jauh lebih brutal dari yang kamu lakukan aku pernah dipenjara dan dibenci semua orang.Tapi satu bulan semenjak aku berada disini semuanya berubah. Hidayah datang padaku, bertaubatlah tidak ada kata terlambat”, sambil menepuk pundakku.

“Apa yang membuatmu berubah?”

“Karena aku sadar yang lebih dekat dengan kita adalah kematian, kita tidak tau sampai kapan kita boleh belajar di dunia ini. Kawan, semua yang kita perbuat akan dipertanggungjawabkan meski itu hanya sebiji zarrah”.Mendengar kata – katanya hatiku seketika meleleh seperti es kepanasan.

Aku penasaran dengan omongan syekh kemarin, lalu aku berangkat bersama dul yang nasibnya sama seperti aku hanya saja berbeda dia masih punya kedua orang tua yang masih diharapkannya.

Sesampai disana, ku lihat senja yang menghiasi bagian barat danau itu jadi tampak indah dan pertama kalinya aku melihat perpaduan alam yang romantic, hatiku seketika damai dan nyaman tidak lagi gusar tapi ada hal lain yang lebih menarik. Bayangan hitam yang terpotret di air. Inikah aku? Ada sisi lain dari diriku. Dan akupun masih ada harapan untuk berubah. Tiba – tiba seseorang lelaki menepuk pundak kami.

“Aku tau kalian pasti disuruh syehk datang kesini bukan!”, kami hanya mengangguk heran.

“Kenapa anda bisa tau?”, tanyaku.

“Nanti aku ceritakan mari duduk”, kami bersila di atas ukiran kayu nampaknya memang sengaja disediakan untuk orang – orang seperti kami.

”Jadi sebelum ayah dan ibumu meninggal dia sempat nitip pesan kepada kami, mereka sempat mengaku bersalah karena telah membiarkan kamu. Mereka ingin kamu bisa menjadi anak yang bisa menyelamatkan mereka berdua”.

Bulir bening itu menetes seketika, aku merasa mereka telah kembali menjadi bintang – bintang yang abadi.

Speak and speak berlalu hingga dua jam lebih, apa yang terjadi?

Aku sadar semua ini bukan salah papa ataupun mama. Apa yang dilakukan mereka tetap yang terbaik kalo bukan karena mereka pastinya aku tidak akan disini.Semenjak saat itu aku berubah dan menjadi pemuda yang taat agama. Agar kelak aku bisa menyelamatkan mereka, dan bersama – sama masuk ke Surga-Nya yang lebih menyenangkan dari rutinitas mencopet. Allahu ya Robbi aku bertaubat.



Disini aku memulai kehidupan yang baru dan semua bukan tentang kesendirian lagi karena banyak orang yang peduli dengan ukhuwah dan kasih sayang saudara seagama,

Yah aku merasakan bukan hanya kasih sayang orang tua tapi semua aspek aku dapatkan. Kekuatan mental dan spiritual aku dapatkan dari sini.

Dulunya aku berpikir Allah tak adil tapi ternyata asumsiku tentang semua itu salah, justru dengan Allah memberi kita cobaan itulah perhatian Allah, karena Allah masih peduli dengan kita.

Masih menegur dengan alur yang mungkin sulit kita mengerti. Menuntut agama adalah bagian terpenting untuk menyiapkan diri menyambut alam barzah dan penentuan akhir nanti.

 Selamatkan aku dan orang – orang yang aku sayangi ya Allah.





                                                 Tentang penulis

Berpendidikan di SMK Negeri 1 Puhpelem. Mencintai dunia literasi dan berkeinginan menjadi seorang Penulis dan Motivator.

1 komentar:

Pesantren Kilat